Berbicara mengenai karya sastra, maka tidak akan
terlepas dari masyarakat di mana karya sastra itu dilahirkan. Karya sastra
hadir pada dasarnya adalah “jelmaan” keadaan masyarakat atau lebih tepatnya
karya sastra adalah corong menyuarakan keadaan masyarakat. Secara tidak
langsung karya sastra merupakan ekspresi kolektif dari masyarakat yang
dituangkan oleh sang pengarang. Pengarang karya sastra merangkul “gemuruh”
kehidupan manusia menjadi karyanya. Tidak mungkin seorang pengarang dapat
menghasil karyanya tanpa “mengarungi” realitas kehidupan. Realitas kehidupan
merupakan inspirasi yang tidak akan pernah selesai digali untuk dijadikan karya
sastra. Tentu saja di “tangan”
pengarang, realitas kehidupan bercampur baur dengan perasaan dan juga
ideologinya, sehingga karya sastra yang dihasilkan berbagai “corak”.
Bagaimanapun juga “corak” karya sastra pastilah ianya membentuk “jalan”
pencerah dan kesadaran bagi manusia.
Dalam buku Teori Sastra Marxis, Terry
Egliton menjelaskan bahwa karya sastra merupakan sebuah sekrup penting untuk
menggerakan mesin demokrasi. Dengan karya sastra manusia disadarkan tentang
kehidupannya yang bermacam ragam baik masalah adat istiadat, agama, ekonomi, politik
dan lain sebagainya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Aristoteles, filsuf terkemuka
di dunia, yang meletakkan pondasi pemikiran tentang karya sastra dengan teori memesis. Aristoteles
dengan teori memesisnya menjelaskan bahwa karya sastra merupakan tiruan dari kehidupan
manusia. Tentu saja, peniruan yang dilakukan oleh pengarang tidak persis sama
dengan realitas. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, perasaan dan juga
ideologi pengarang pastilah ikut terbawa di dalamnya.
Tidak semua realitas kehidupan manusia dijadikan
sumber penciptaan oleh pengarang. Biasanya lindasan keadaan yang meletakan
manusia termarjinalkan atau terkalahkan merupakan “bibit ungul” bagi pengarang
untuk dijadikan karya sastra. Hal ini disebabkan, masyarakat yang diwakili oleh
pengarang menginginkan kebenaran dan keadilan ditegakan di muka bumi ini
berdasarkan nilai kemanusiaan. Dengan demikian sang pengarang berkeinginan
mengangkat drajat masyarakat yang diwakilinya. Luciein Goldmann, seorang pakar
struturlis-genetik, menerangkan hubungan karya sastra dan masyarakatnya
terletak pada ideologi yang diekspresikan.
Memang harus diakui ideologi dalam karya sastra
merupakan ideologi individu sang pengarang, namun demikian ideologi itu menjadi
milik masyarakat karena adanya keinginan yang sama antara karya sastra dan
masyarakat. Di sinilah posisi pengarang menjadi teraju untuk merangkai segala
keinginan masyarakat menjadi satu, yaitu; mendedahkan segala kejadian yang
terjadi pada masyarakat.
Selain menyuarakan ideologi masyarakat dimana
karya sastra itu lahir, karya sastra juga menjadi milik masyarakat di dunia
ini. Hal ini disebabkan karya sastra meletakkan seluruh manusia dalam
ketinggian yang sama, baik masyarakat kelas bawah maupun masyarakat borjuis
dalam ikatan kemanusiaan. C.A. van Peursen menjelaskan bahwa nilai kemanusiaan
akan terus hidup dimana dan kapan pun juga dan nilai kemanusiaan ini akan
dirasakan oleh seluruh manusia.
Dalam menyuarakan nilai kemanusiaan, menurut
Goldmann, ada dua pendapat yang membentuk karya sastra. Pertama, bahwa karya
sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, bahwa dalam
usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan semesta
tokoh-tokoh, objek-objek dan relasi-relasi secera imajiner. Dengan usaha demikian,
pengarang ingin membuka cakrawala perasaan manusia dan membuka celah untuk
melakukan interpretasi terhadap karya sastra, sekaligus menghubungkan dengan
realita.
Contoh kasus novel Hempasan Gelombang (HG), karya
Taufik Ikram Jamil, memunculkan permasalahan yang terjadi di Riau. Berdasarkan
pandangan dan pengalamannya terhadap masyarakat Riau, TIJ mencoba merangkul
segala permasalahan yang terjadi di Riau dalam novelnya. Dalam novel ini ada
dominasi kekuasaan terhadap masyarakat setempat, sehingga masyarakat tertekan
dan hidup dalam kemiskinan. Melalui tokoh wartawan dan keluarganya, TIJ
membingkai permasalahan-permasalahan yang terjadi hari ini di Riau dan
sejarahnya.
Masyarakat Riau (interpretasi terhadap HG) terus saja dipecundangi dari dulu sampai
sekarang. Masa dahulu bangsa kolonial, Belanda, terus saja memperdaya
masyarakat Riau dengan janji-janji dan berakhir dengan pelangaran janji oleh
Belanda sendiri. Belanda dengan akal liciknya, melakukan pula politik adu
domba, dimana masyarakat terpecah belah dan permusuhan antar penduduk setempat
(Riau) tak terelakkan lagi. Segala perbuatan yang dilakukan oleh Belanda
bertujuan untuk menguasai daerah Riau yang sangat kaya ini. Tentu saja
masyarakat setempat melakukan perlawanan dengan apapun caranya.
Di zaman sekarang atau bisa juga disebut zaman
post-kolonial, TIJ dalam novelnya HG, menggambarkan pula masyarakat Riau
berhadapan dengan “penjajahan” bangsa sendiri yang memiliki kekuasaan. Para
penjajah dengan kekuasaannya terus memperluaskan kekuasaannya dengan mengambil
tanah milik masyarakat Riau. Kesewenangan yang dilakukan oleh penjajah (mungkin
saja pemerintah Indonesia, Jakarta) mendapat perlawanan dari masyarakat,
walaupun perlawanan itu mendapat perlawanan yang keras. Hal ini menandakan
bahwa masyarakat Riau secara langsung mengikrarkan ketidaksetujuannya terhadap
kesewenang-wenangan.
Intisari novel HG ini memperlihatkan bahwa
dalam karya sastra permasalahan masyarakat merupakan bahan pokok. Tidak ada
karya sastra yang tidak bersentuhan dengan masyarakat, walaupun karya sastra
itu sangat personalitas adanya. Musyawarah
Burung, karya Jala’udin Attar, merupakan perlambangan seorang sufi yang ingin
menyapai kesendirian berhadapan dengan Sang Pencipta. Secara tidak langsung,
Attar mengajak seluruh manusia mencari kebenaran dengan mendekati diri
kepadaNya.
Dengan demikian, apapun aliran dalam karya sastra,
pastilah bersentuhan dengan masyarakat karena pengarang karya sastra itu adalah
bagian dari masyarakat. (HK)
Komentar
Posting Komentar