“Jangan pernah tidak bermimpi”
ujar Almarhum Hasan Junus (HJ), Biksu Sastra Riau, ketika masih hidup. Kalimat itu selalu
disampaikan oleh Hasan Junus kepada penulis muda Riau yang handak ‘mencuri’
ilmu darinya. Hasan Junus yang sangat tunak dengan menulis karya sastra, tidak
pernah lokik memberikan ilmu kepada siapa saja yang mau menuntut ilmu
kepadanya.
Kalimat yang diucapkan HJ itu
adalah motivasi kepada penulis, terutama penulis muda Riau, bahwa menulis karya
sastra adalah bermimpi. Bermimpi di sini diartikan, manusia memiliki keinginan
dan harapan yang harus diwujudkan. Menulis karya sastra adalah menulis
keinginan dan pada akhirnya akan menghasilkan keinginan pula yaitu keinginan
pembaca karya tersebut. Pembaca pun menyulam mimpi dengan membongkar mimpi-mimpi
lewat kata-kata yang dirangkai dalam karya sastra.
Tentu saja, masing-masing
manusia memiliki mimpi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pengaruh
kenyataan di sekitar manusia sangat berpengaruh besar membentuk mimpi.
Seseorang yang dekat dengan kaum tertindas, misalnya, akan mewujudkan mimpi
mereka untuk bebas dari penderitaan dan sekaligus memprotes kesenjangan yang
menyebabkan mereka hidup dalam penderitaan.
Bermimpi adalah pembebasan
diri. Dengan bermimpi manusia dapat menyulam dirinya menjadi apapun juga.
Sebagai wadah untuk bermimpi, karya sastra membuka peluang-peluang menuangkan
mimpi. Tidak jarang pula, tersebab karya sastra tidak membatasi menampung
mimpi, maka banyak sekali karya-karya sastra terasa aneh, tidak sesuai dengan
kenyataan dengan keseharian sebagai inspirasinya. Hal ini disebabkan, karya
sastra bermain pada wilayah simbolis-simbol. Dari simbol-simbol ini pembaca diajak
mengembara, berkenalan, bercumbu dengan mimpi-mimpi yang pada akhirnya berbuah
kepada kesadaran untuk berubah dari keadaan yang tidak nyaman ke keadaan yang
nyaman.
Roland Barthes, seorang ahli
di bidang sastra bernegara Perancis, menjelaskan bahwa hakikat karya sastra
adalah penyampaian bahasa kedua. Maksudnya, karya sastra itu bermakna apabila
kita dapat menangkap pesan di balik karya sastra itu. Teks karya sastra yang
terwujud dari bahasa memiliki pesan di baliknya.
Mimpi yang dituang oleh para
penyair Riau kaya akan simbol-simbol khazanah, peradaban dan juga sejarah
daerah ini. Penyair Riau seakan menyadari bahwa seuatu karya yang dihasilkan
merupakan pewanjatahan kolektif dari kehidupan masyarakatnya, sehingga apa yang
dihasilkan penyair Riau adalah mimpi masyarakat Riau. Hal ini disebabkan, Riau
yang memiliki kekayaan alam yang melimpah tidak menjamin masyarakatnya hidup
dalam kesejahteraan. Kenyataan-kenyataan perih ini banyak sekali terlihat pada
puisi-puisi penyair Riau.
Suara perlawanan menjadi wajah
puisi-puisi penyair Riau. Perlawanan yang begitu mengebu-ngebu dalam puisi Riau
mengokah, membongkar segala pedih, luka, perih nestapa, derita menjadikan puisi
Riau terlihat pesimis. Namun untuk menangkap makna dalam puisi, pembaca harus
menyingkap permukaan kata-kata dalam puisi untuk menemukan arti sebenarnya
puisi tersebut. Keluakaan, kepedihan, keperihan yang berhamburan dari puisi
Riau adalah upaya mengenalkan diri lebih dekat lagi. Dengan mengenal diri, maka
kecintaan pun akan berkobar. Kobaran rasa cinta pada tanah Riau inilah semangat
yang hendak dimunculkan oleh para penyair Riau. Maka membaca puisi-puisi yang
dilahirkan oleh penyair Riau merupakan upaya menggali semangat untuk tampil
sebagai pemenang.
Waktu terus bergerak,
suara-suara yang dibawa oleh penyair Riau juga meningkah zaman. Setiap zaman
menghasilkan penyair-penyair dengan suara-suara mengalun dan merekam peristiwa
yang terjadi di zaman dimana para penyair itu hidup. Maka di setiap zaman atau
waktu bermuncullah nama-nama penyair Riau. Kita pun mengenal Presiden Penyair
Indonesia yang berasal dari Riau, Sutardji Calzoum Bachri. Dengan kekuatan
tradisi mantra, Sutardji merecup bak bunga di taman kesusastraan Indonesia.
Kata-kata di tangan Sutardji seperti sihir, menyentak, menusuk bahkan membakar
jiwa.
Selain Sutardji, dunia
kesusastraan Riau memunculkan nama-nama penyair yang menjulang nama Riau
seperti Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, Rida K Liamsi,
Armawi KH. Dekade berikutnya muncul para penyair seperti Aris Abeba, Fakhrunnas
MA Jabbar, Taufik Ikram Jamil, Husnu Abadi, Syafruddin Sungai Gergaji, Dasri Al
Mubari, GP Ade Dharmawi. Eddy Ahmad RM, Yoserizal Zen, Hafny Mulana, Herlela
Ningsih. Selanjutnya nama penyair seperti Marhalim, Murparsaulian, Musa Ismail,
Kunni Masrohanti, Ramon Damora, Ahmad S Udi, Eka PN memperlihatkan karya-karya
puisi yang bernas. Penyair-penyair ‘senior’ yang masih hidup terus berkarya,
muncul penyair-penyair yang lebih muda, seperti M. Badri, Jefri Al Malay,
Sobirin Zaini, Ahmad Ijazi dan penyair-penyair muda lainnya (maaf tidak
menyebutkan satu per satu).
Merangkai Sejarah Menjadi Mimpi
Puisi dihasilkan oleh penyair
seperti jembatan menuju suatu tujuan. ‘Jembatan’ yang dibangun ini meleawti
proses kontemplasi yang dalam. Bahan-bahan ‘jembatan’ tersebut berasal dari
resah, gelisah, cemas yang didapat dari hasil ‘menelek’ kenyataan yang terjadi
di tengah masyarakat.
Untuk mendedah kemenangan dan kejayaan, penyair dengan ketajaman imajinasinya
meneroka ke segala ruang, waktu dan tempat. Bagi penyair, segala yang terbuka
maupun tertutup di atas permukaan bumi ini dapat dijadikan sumber
penciptaannya. Peritiwa masa lalu, peristiwa hari ini dan peristiwa akan datang
mampu dibuhul oleh penyair untuk dijadikan puisi.
Riau dianugerahkan
kejayaan masa lalu yang cemerlang, menyebabkan banyak penyair Riau ‘menyelam’
ke masa lalu dan menjadikan sejarah sebagai sumber inspirasi untuk
membangkitkan semangat hari ini. Coba kita baca dan simak puisi Fakhrunnas MA
Jabbar berikut ini:
Belajar Sejarah pada Batu
sejarah ada di mana-mana
ada di batu
batu tak diam kala kusapa
di antara batu-batu
kubelajar sejarah
ada yang terbantai di kelam waktu
masa lalu
di holocaust memorial ini
kuterkenang segala
kubelajar segala
tak sia-sia
kini
berlin, 23 okt 2014
Dalam puisi ini terbentang
jelas bahwa optimisme harus senantiasa dipelihara. Masa lalu atau sejarah
menjadi kata kunci dalam puisi ini. Sejarah menciptakan ruang untuk kita
mengenal akan diri dan sekaligus memperkokoh keberadaan kita di muka bumi.
Terkadang ketika kita berada jauh dari tanah kelahiran, rasa rindu membongkar
kecintaan dalam diri. Tanah kelahiran tidak akan pernah dapat dihilangkan dari
benak dan juga hati kita. Hal ini dapat ditelek dari kata Berlin, dimana puisi
ini dicipta.
Penyair pun mendedahkan bahwa
dengan optimis kita mampu menggali segala kekuatan yang ada pada diri. batu tak diam kusapa frase ini
mempertegas kekuatan diri; benda mati pun bersaksi akan keberadaan optimisme
itu. Dengan mengetahui dan sekaligus memahami sejarah maka kita diajarkan
segala hal. Dimanapun kita berada, masa lalu yang melekat dalam jiwa akan
menjadi kekuatan dalam mengarungi kehidupan ini.
“Kehebatan” sejarah menjadi
kekuatan karya-karya puisi penyair Riau. Hal ini disebabkan kenyataan yang dihadapi
oleh masyarakat Riau pada hari ini sangat tidak menguntungkan. Seperti yang
disampaikan di atas tulisan ini, kekayaan alam Riau tidak menjamin
masyarakatnya hidup sejahtera. Sejarah Melayu (Riau) yang cemerlang dijadikan
perbandingan sekaligus semangat untuk memperoleh kemenangan.
Selain itu, tokoh-tokoh dalam
sejarah menjadi perbandingan untuk melakukan sesuatu demi hari ini. Taufik
Ikram Jamil adalah salah penyair Riau yang selalu menggunakan tokoh-tokoh masa
lalu dalam puisi-puisinya. Salah satu puisi berikut ini:
percintaan hang tuah-tun teja
kalian sampai
ketika renyai
saat hari
mengawal sunyi
hingga diam
kalian semakin sejuk
dan kalian
membiarkan semuanya
terkurung dalam
isyarat
yang
terbasa-basi pada malam
dikunci dalam
bilik kata-kata
dengan mendustai
makna
tanpa sekat
setia
atau sekedar
tenggat pura-pura
menyetujui
setiap khianat
pada tuju yang
berbeda
lalu menyatu
pada yang tak suka
menghidu
keinginan lain
dari sisa-sisa
gelap
ditinggalkan
dendam dan geram
tapi semuanya
harus berakhir
sebelum subuh
Puisi ini mengambarkan
kesetiaan selalu saja disalah artikan. Kesetiaan dijadikan jalan untuk
menistakan, sehingga kesetiaan akan membuah hasil kelukaan. Begitulah
perumpamaan yang dinukilkan Taufik Ikram Jamil. Hang Tuah harus rela
menyerahkan kekasihnya kepada sultan, walaupun dirinya menderita. Hal yang sama
dirasakan oleh orang Riau; dengan setia Riau menyerahkan kekayaan alamnya,
namun yang didapatkannya adalah sengsara.
Masih banyak sederetan puisi
yang mengokah sejarah menjadi kekuatan dalam puisi yang dilakukan oleh penyair
Riau. Sejarah menjadi salah satu identitas karya sastra Riau. Diperlukan
penjelajahan kajian mendalam lagi, sehingga mendapatkan pemaknaan sejarah dalam
karya-karya penyair Riau. Tulisan ini hanya membentang secuil kekuatan sejarah
dalam puisi Riau.
Komentar
Posting Komentar