Lelaki dan Perempuan Bukanlah Perbedaan
Dalam dunia kesenian, khususnya di Riau,
antara lelaki dan perempuan, bukanlah menjadi permasalahan. Namun yang menjadi
permasalahan mendasar adalah berkarya atau tidaknya manusia yang mendiami tanah
Riau ini. Hal ini menjadi penting disebabkan dunia kesenian di Riau mengalami
‘krisis’ pengkarya. Hanya beberapa orang saja yang berani menceburkan diri di
dunia kesenian yang maha sunyi ini.
Kesenian hanya menjadi tempat ‘pelarian’
sesaat, terutama bagi kebanyakan mahasiswa. Ketika tercatat sebagai mahasiswa,
mereka dengan semangat bergelora ‘merenangi lautan’ kesenian tanpa pernah
mengenal kata lelah, namun setelah selesai kuliah, mereka pun seakan engan menjenguk kesenian tersebut. Tersebab dunia kesenian tidak
menjanjikan finansial yang dapat menopang kehidupan mereka. Kesenian hanya
menjadi tempat ‘berlagak’ sesaat.
Pada tahun 90-an, dimana saya masih
tercatat sebagai mahasiswa, ‘mahligai’ kesenian itu, khususnya seni teater,
berada di kampus-kampus. Setiap kampus memiliki sanggar-sanggar teater yang
rutin memperlihatkan karya-karya mereka. Kampus Unilak dengan Sanggar
Selembayung-nya, tak pernah berhenti berkarya. IAIN (sekarang UIN) dengan
Sanggar Latah Tuah, seakan tidak pernah jemu mededahkan pertunjukan mereka.
UNRI juga demikian, Teater Bahtera-nya, senantiasa menggeliat untuk
menghadirkan karya-karya terbaru. Begitu juga UIR dengan Lisendra Dua Terbilang-nya,
tetap berkarya. Namun pada hari ini, kampus-kampus tersebut seakan dilanda
kegamangan untuk menghidupkan sangar seni. Inilah masalah yang sangat
menguatirkan kita pada hari ini.
Ketika kita sedang berhadapan dengan
permasalahan krisis pengkarya di Riau ini, maka masalah genre bukanlah menjadi
topik yang signifikan untuk dibicarakan. Namun demikian untuk membangkitkan
semangat agar kita tetap berada di ‘dunia sunyi’ (kesenian) ini, tidak salahlah
kita mencoba membongkar para serikandi Riau yang berani memakai kesenian
sebagai ‘keris’ mereka.
Berbicara mengenai perempuan di kawasan
kesenian di Riau ini, maka kita tidak bisa tidak, kita harus membicarakan
Aisyah Sulaiman. Karya-karya yang dihasilkan oleh istri Khalid Hitam ini
menjadi sumbu tempat lewatnya energi api dalam karya-karya perempuan Riau.
Aisyah Sulaiman menjadi perempuan Melayu pertama menulis kesetaraan perempuan
dan lelaki. Pada abad 19, Aisyah Sulaiman dengan piawainya meletakkan posisi
perempuan sama dengan lelaki. Dominasi lelaki dipatahkan oleh Aisyah Sulaiman
dan menjulang bahwa perempuan memiliki hak untuk menentukan nasib mereka.
Sayangnya, pada hari ini generasi muda
tidak mengenal betul siapa Aisyah Sulaiman. Genarasi muda lebih mengenal RA
Kartini yang selalu dirayakan setiap tahunnya. Kita kehilangan kisah
orang-orang yang telah berbuat jasa kepada kita. Kita lebih suka mengikut orang
banyak dibandingkan mencongkel kekuatan kita sendiri dan berdiri dengan sejarah
sendiri. Kita hanya menjadi pengekor ketimbang menjadi kepala. Hal ini
disebabkan genarsi kita bukanlah genarsi pembaca dan juga generasi penulis,
sehingga kita terbenam setiap saat.
Perlu kita sesali bahwa jejak-jejak
seniman di Riau tidaklah tercatat dengan baik, bahkan bisa dikatakan tidak
tercatat sama sekali. Dan ketika kita dihadapkan dengan pembongkaran
jejak-jejak sejarah kehebatan kita, data pun kita tidak punya.
Untuk itulah, dalam tulisan ini, saya hanya
membatasi pada seniman perempuan yang saya ketahui. Pada tahun 90-an, ketika
saya menerjuni dunia kesenian telah muncul nama-nama Tien Marni, Herlela
Ningsih. Genarsi berikutnya ada Murparsaulian, Kunni Masrohanti, Dewi MN, Budi
Utami, Rina Nazaruddin, Novianti, Cike Wahab, Cahaya Buah Hati, Alvi Puspita, Mimi
Suryani.
Waktu berjalan seperti menggilas
nama-nama seniman perempuan di Riau saat ini. Murparsaulian, salah seorang
penulis karya sastra sekaligus aktris teater menghilang ketika berhadapan dengan
pekerjaannya dan mengasuh keluarga. Pada diri Murparsaulian dapat kita nikmati
karya-karya puisi dan cerpen yang memperlihatkan keteguhan perempuan.
Murparsaulian tidak meletakkan dirinya yang perempuan lemah, bahkan dalam
karya, Murparsaulian mempoisikan perempuan sama dengan lelaki.
Komentar
Posting Komentar