Langsung ke konten utama

Teater Riau Upaya Memperkokoh Identitas Negeri

Seni teater di Riau beberapa tahun lalu, dianggap sebagai anak tiri dalam aktivitas kesenian yang ditaja oleh pemerintah maupun pihak swasta di daerah ini. Anggapan teater terlalu rumit, tidak menghibur, terlalu banyak pendukungnya, sehingga setiap pergelaran tajaan pemerintah atau pun swasta, seni teater ditinggalkan.

Seni teater di Riau seperti terbiarkan hidup dalam kesunyian, berteriak dalam ruangan hampa, tak dijengah oleh siapapun jua, selain pekerja teater itu sendiri. Bahkan banyak para pekerja teater ‘membelot’ dari seni teater. Bagi mereka, seni teater tak mampu ‘memperpanjang nafas’ untuk mempertahankan hidup. Hanya pekerja teater yang degil masih bertahan, lalu mengibas-ngibas kepak seni teater itu agar tetap bertahan di Tanah Melayu ini.

Tak ada yang abadi (tetap) di dunia ini. Kegemilangan seni teater pada masa terdahulu dengan ditandai bermunculan kelompok teater Bangsawan, Mendu, Makyong, Randai dan Mamanda di negeri ini, membuktikan seni teater bukanlah ‘barang’ baru. Seni teater pernah mendapat tempat di hati masyarakat. Bangsawan contohnya, menjadi bagian terpenting dalam masyarakat yang mendiami daerah pesisir Riau. Kelompok-kelompok teater Bangsawan menetap beberapa bulan di suatu tempat dengan menggelarkan pertunjukan dan memungut bayaran untuk menyaksikan aksi mereka. 

Begitu juga Randai Kuantan, pernah sangat jaya. Setiap perhelatan di kawasan Kuantan Sengingi ini, rasanya tidak sah tanpa ada pementasan Randai. Randaimenjadi identitas orang-orang Kuantan, bahkan ‘gelombang’ Randai Kuantan sampai ke Pekanbaru yang dibawa oleh Fakhri Semekot. Randai pun mendapat tempat di kalangan generasi muda Pekanbaru beberapa tahun yang lalu.

Seiring berjalannya waktu, kegemilangan teater Riau sempat meredup. Perhelatan teater semakin senyap. Untung saja beberapa pekerja teater muda Riau dalam empat tahun belakangan ini senantiasa resah dan terus berkarya, walau dengan mengeruk kocek sendiri untuk mementaskan karya mereka. Ada Teater Selembayung, Rumah Sunting, Riau Beraksi, Teater Matan dan Sanggar Latah Tuah yang terus-menerus memproduksi pementasan teater di Anjung Seni Idrus Tintin. Rumah Sunting seakan melemah bertahan dan mereka lebih banyak menyelenggarakan event sastra akhir-akhir ini.

Sementara itu di luar Pekanbaru, kelompok Bulan Biru Visual dari Kabupaten Rokan Hilir dan Komunitas Seni Muda Bernas (KEMAS) Kabupaten Meranti (hasil pengamatan saya) terus menggeliat melakukan pementasan dan menggelar event teater di daerah mereka. Kabupaten Inderagiri Hulu, Kabupaten Bengkalis, dan Kota Dumai, sebagai gudangnya tokoh teater Riau, aktivitas teaternya lenyap seperti tak membekas, ditelan waktu. Kabupaten Kampar yang kononnya banyak sarjana teater, tak memunculkan kelompok teater yang mampu menjadi tongak perkembangan teater di Riau.

Apa yang dilakukan para pekerja teater di Riau yang pantang menyerah terus menghasilkan karya-karya mereka, mendapat respon dari pemerintah daerah melelui dinas terkait. Seperti Taman Budaya Riau terus menaja pelatihan teater dan menggelar pementasan kolaborasi seni dengan seni teater menjadi ujung tombaknya. Begitu juga Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, memberi laluan teater menampakkan wujudnya. 

Tentu saja ruang yang disediakan oleh pemerintah daerah ini, bukan menjadi jaminan teater di Riau bertahan hidup dan tidak memikirkan kualitas. Para pekerja teater di Riau harus mencari ‘ramuan’ agar pementasan mereka tidak terasa tawar disebabkan ‘panggung’ terbuka lebar. Ideologi atau arah kelompok teater haruslah dipertahankan dengan menggali nilai-nilai estetika lebih dalam lagi. Paling penting adalah identitas kelompok teater tidak hilang. Bersuara dengan hati menjadi kekuatan diri, walaupun ianya terasa pahit bagi sebagian orang.

Selain itu, pelatihan-pelatihan teater yang ditaja oleh SKPD terkait dengan kesenian, haruslah dijadikan media menyebar ‘virus’ teater pada generasi muda. Jangan disia-siakan, sebab bagaimanpun juga, seni teater merupakan upaya menyuburkan kepribadian dan sekaligus membentuk karakter manusia, terutama generasi muda yang memilih teater sebagai jalan hidupnya.

Membongkar Khazanah Negeri
Karya seni yang dihasilkan oleh seniman bukanlah berasal dari kekosongan budaya, kata para pakar. Apa yang terjadi disuatu daerah merupakan sumber inspirasi bagi para seniman. Dari kenyataan inilah, dalam hal ini para pekerja seni teater, mengokah, mencekah, menukang, realitas menjadi karya seni teater. Tiada yang lepas dan lucas dari pengamatan para seniman teater. Hiruk pikuk realitas hari ini disepuh dengan sudut pandang para seniman, sehingga hadirlah karya seni teater dengan berbagai bentuk dan ragamnya.

Riau yang memiliki kegemilangan masa lalu merupakan ‘amunisi’ para pekerja seni teater di Riau. Kegemilangan masa lalu negeri ini menjadi sesuatu kekuatan dan membentuk identitas teater Riau. Masa lalu dihidangkan pada hari ini adalah upaya membangkitkan semangat bahwa negeri ini bermarwah. Dengan membentangkan masa lalu pada pergelaran teater, para seniman teater mencoba membongkar tanda dan memberi makna pada tanda tersebut agar kesadaran mencintai negeri ini bertambah kokoh.

Hal inilah yang dilakukan oleh Sanggar Latah Tuah dengan menampilkan karya-karya yang berkaitan dengan Megat Sri Rama. Naskah yang ditulis G.P. Ade Dharmawi mengajak orang-orang Riau pada hari ini mengembara pada peristiwa jauh sebelum Provinsi Riau terbentuk. Berkait kelindan, bahwa sebelum provinsi ini lahir, ada peristiwa yang terdedah, memperlihatkan semangat orang terdahulu menancapkan kebenaran dengan tetesan darah penghabisan. Menegakkan kebenaran tidak dapat ditawar-tawar. Kezaliman para pemegang kekuasaan harus dilawan dan pemegang kekuasaan haruslah bercermin diri bahwa kekuasaan yang diamanahkan kepada mereka hendaklah menjadi jalan untuk menegak keadilan, bukan menabur kebatilan.

Inilah inti yang hendak disampaikan oleh Sanggar Latah Tuah dengan pergelaran mereka yang mengokah masa lalu pada hari ini. Sadar atau tidaknya Sanggar Latah Tuah dengan apa yang mereka kerjakan, karya seni teater yang telah mereka bentangkan membentuk identitas kelompok ini. Dan apabila mereka menggelarkan pementasan yang bukan bangsawan, hal ini disebabkan pencarian lain yang hendak disematkan ke tubuh kelompok mereka. Dengan arti kata, proses dan terus proses membentuk pula identitas baru.

Begitu juga dengan Teater Selembayung yang baru-baru ini menggelar pementasan berjudul Kota yang Hilang (Sijangkang). Fedli Aziz penulis naskah sekaligus sutradaranya, mencoba menghadirkan peristiwa masa lalu yang hidup dari mulut ke mulut (sastra lisan) tentang kebesaran Muara Takus.

Tidak perlu mencari kebenaran, apakah benar atau tidak peristiwa itu, sebab tugas seni teater membongkar tanda dan menciptakan tanda baru pula. Artinya, peristiwa yang dikemas dalam pertunjukan teater adalah realitas panggung yang berkeinginan sebagai amunisi semangat kesadaran bagi penonton hari ini, khususnya masyarakat Riau.Pementasan teater Kota yang Hilang bukanlah sejarah dalam artian sesungguh, ianya adalah peristiwa teater, walaupun berangkat dari sejarah.

Apa yang disuguhkan Teater Selembayung semakin memperkokoh bentuk teater di Riau ini, bahwa khazanah yang terpendam di negeri ini dicongkel untuk membuka ‘jalan’ memperkokoh negeri mempertegas jati diri. Tentu saja, nilai-nilai yang disuguhkan dalam pementasan teater beragam pula diterima dan ditangkap oleh penontonnya. Paling tidak dari pergelaran teater telah menyuguhkan kepada kita akan kebesaran tanah bernama Riau ini. Maka tiada perlu lagi dikhawatirkan bahwa identitas negeri akan hilang. Sering-seringlah menonton pertunjukan seni. Bagaimanapun juga para seniman berkarya mempertegas diri; negeri ini harus dicintai sepenuh hati.

Apa yang dilakukan para pekerja teater Riau hari ini, bukanlah harga mati dalam menentukan bentuk garapan mereka. Tentu saja, pada setiap waktu yang bergerak akan menciptakan bentuk-bentuk yang baru pula, sehingga puncak-puncak capaian mereka berubah. Namun demikian, nilai-nilai yang ada di Riau ini akan tetap bertahan sebagai ruh karya mereka dengan bentuk yang baru pula.


Inilah dunia kreativitas seni pertunjukan, tiada pernah berhenti mencari dan terus mencari tanpa batas. Perubahan waktu adalah tanda bagi kita harus tetap bergerak dengan kesejatian identitas, sehingga kita tetap tercatat dalam perkembangan dunia yang memiliki ciri kita sendiri. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tokoh Anak dalam Cerpen Oly Rinson

Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling indah untuk dikenang. Hal ini disebabkan masa kanak-kanak, kita tidak dibebani oleh sagala macam persoalan kehidupan. Segalanya berjalan berdasarkan kegembiraan dengan cara bermain-main. Namun tidak demikian dunia anak yang didedahkan oleh Oly Rinson dalam karya-karya sastranya. Oly Rinson, terutama dalam cerpen ‘Rembulan Tengah Hari’ dan ‘Menjual Trenggiling’ yang terkumpul dalam kumpulan cerpen dan puisi diterbitkan Dewan Kesenian Riau tahun 2002-2003. Dalam 2 cerpen karya Oly Rinson ini, anak-anak ‘dibebani’ dengan persoalan orang dewasa. Persoalan yang sebenarnya diemban oleh orang tua mereka, namun kemiskinan dan ketidaksanggupan orang tua mereka menjalani kehidupan ini, anak-anak ikut terlibat dalam persoalan kehidupan yang berat. Apakah salah seorang pengarang menciptakan tokoh anak-anak yang dibebani persoalan orang dewasa dalam karya mereka? Tidak ada salahnya. Pengarang bebas menciptakan tokoh siapa pun dalam karya mereka...

Bentangan Karya Sastra di Riau

Selain menyumbang kekayaan alam yang tidak sedikit, Riau juga tercatat sebagai penyumbang karya-karya sastra untuk Indoensia tercinta ini. Tercatat beberapa nama-nama besar sastrawan Riau yang mempengaruhi perkembangan sastra di anah air ini. Soeman Hs, salah seorang sastrawan kelahiran Bengkalis ini, hadir dengan cerita-cerita pendeknya yang paling pendek. Cerpen yang dihasilkan Soeman Hs, hanya satu halaman, bahkan setengah halaman juga ada. Selain ceritanya tak sampai satu halaman, Soeman Hs juga ‘mengisi’ karya sastranya dengan cerita-cerita yang unik. Kebiasaan orang Melayu kampung, menjadi kekuatan karya-karya Soeman Hs. Dalam cerpennya, Soeman Hs mengajak pembaca mengembara ke peristiwa-peristiwa alam Melayu dengan cara yang humor dan satir. Sutardji Calzoum Bachri muncul dengan kekuatan mantra dalam setiap karya puisi yang ia ciptakan. Sutardji yang kelahiran Rengat ini menyadari betul bahwa karya sastra haruslah memiliki ‘sidek jari’ pengarangnya untuk menjadi iden...